Dilema

Friday, November 04, 2016
Aku bekerja sebagai Admin Marketing di perusahaan otomotif khususnya di bagian sparepart / suku cadang. Aku berhubungan langsung dengan dealer yang membeli sparepart. Setiap hari aku menerima pertanyaan, "kapan ready stock?", "sudah tersupply belum?", "kapan dikirim?"

Meski mirip dengan para penjual di online shop, nyatanya tetap berbeda. Ketika pembeli di online shop diinfokan bahwa stok kosong, mereka akan mencari ke toko lain. Akan tetapi jika stok sparepart kosong, mereka akan setia menunggu hingga barang itu datang. Setia berarti dia tak akan mencari di tempat lain. Perihal dia sabar atau marah-marah dalam penantiannya, itu beda masalah.

Hari ini aku ditegur oleh Big Boss "Mia, kamu kalau ngasih estimasi jangan normatif, jangan langsung kamu tembak 1 bulan, 2 bulan. Diskusiin di internal dulu lah. Kamu coba posisikan diri di tempat mereka. Kalau mendengar 1 bulan baru kesupply rasanya kok lama banget. Udah banyak komplain yang saya terima lho."

Aku diam, walau dalam hati memaki. Sebenarnya aku bisa membayangkan apa yang bisa dirasakan customer. Misal motorku rusak, terus dibawa ke bengkel. Saat dicek, ada sparepart yang harus diganti. Dan ternyata stok sparepart tersebut kosong dan aku diberi estimasi stok baru ada 1 bulan lagi. Kalau tanpa sparepart itu motorku masih jalan, ga terlalu bermasalah lah ya. Tapi bagaimana kalau aku harus meninggalkan motorku di bengkel selama 1 bulan hanya untuk menunggu satu item sparepart yang belum ada stoknya. Kesel pasti ya.

Aku bisa memposisikan diriku di tempat mereka. Tapi di posisiku yang sekarang aku bisa apa? Jika memang pada kenyataan tidak ada stok, apa aku harus mengada-ada seakan-akan stok itu ada. Ketika proyek mengada-ada dimulai, pasti dealer akan selalu menuntut kapan bisa tersupply.

Estimasi itu perkiraan, bisa maju dan mundur. Dengan memberikan kisaran waktu 1 bulan atau 2 bulan, maka dealer akan tahu kira-kira berapa lama dia harus menunggu. Begitulah yang ku pikirkan saat memberikan estimasi. Kami bukan Tuhan yang bisa memberikan kepastian. Kalaupun harus memberikan estimasi yang paling mendekati, prosesnya cukup panjang. Aku dari Marketing harus menghubungi Inventory. Inventory menghubungi PIC supplier. PIC supplier menghubungi bagian produksi. Walaupun terlihat sederhana, semuanya tak akan semudah seperti yang kita bayangkan. Ketika pihak supplier bisa memberikan tanggal estimasi, maka kita pun bisa memberikan info ke dealer. Namun, ketika supplier belum memberikan kepastian tanggal, bukankah sebaiknya kita berikan jawaban normatif saja, 1 bulan, misalnya.

Disisi lain, terkadang ada dealer yang hanya menanyakan stok tanpa diikuti purchase order (po). Dealer menanyakan estimasi berapa lama supply jika order. Untuk kasus seperti ini, haruskan diberikan estimasi pasti juga? Ketika supplier sudah menyanggupi supply, ternyata dealer tidak jadi order, dan akhirnya barang yang sudah diorderkan ke supplier akan menjadi stok mati.

Terkadang hal-hal seperti ini yang membuatku dilema, sesuatu yang membutuhkan intuisi, bukan sesuatu yang pasti. 1+1 tak selamanya = 2. Boleh jadi jawabannya 3, 4, atau mungkin 2,5.

No comments:

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.