Guruku, Pahlawanku

Saturday, November 10, 2012
Telah gugur Pahlawanku, Tunai sudah janji bhakti..
Gugur satu tumbuh sribu, Tanah air jaya sakti ..
Sepertinya lagu itu begitu tepat dinyanyikan hari ini, 10 November. Hari yang diperingati sebagai Hari Pahlawan ini dipersembahkan bagi para pahlawan bangsa, bagi mereka yang memperjuangkan kemerdekaan Negara Indonesia. Itu dulu saat para penjajah mengancam negeri ini, merampas kebahagiaan serta kebebasan Negara. Namun, saat ini, pahlawan bukan lagi mereka yang berperang melawan penjajah. Kini, pahlawan memiliki arti yang luas. Seorang ayah yang bekerja keras demi menafkahi istri dan anaknya bisa dikatakan pahlawan. Seorang ibu yang siang malam melayani suaminya, membimbing anak-anaknya menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa, juga bisa disebut sebagai pahlawan. 
 
Akan tetapi, dari sekian pahlawan yang ada di sekitar kita, ada satu pahlawan yang patut kita acungi jempol. Siapakah mereka? Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Siapa lagi kalau bukan guru-guru kita.
Bapak Ibu guruku, kalian pahlawanku. Kalian tak hanya mengajariku membaca dan menulis. Namun, kalian ajari aku bagaimana seharusnya aku. Kalian mengajarkan tentang kehidupan, mendidikku agar menjadi pribadi yang baik, menjadi warga Negara yang membawa perbaikan bagi bangsa Indonesia.
Aku sungguh beruntung, teramat beruntung. Aku dilahirkan di keluarga pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa. Kakekku, ayahku, dan ibuku. Aku sungguh takzim mendengar cerita-cerita hebat mereka dalam memberantas kebodohan, terutama cerita ibuku.

Ibuku adalah guru sekolah dasar yang ditempatkan di SD Gunungagung. Sekolah terpencil di pucuk gunung yang terletak di Kabupaten Kulonprogo. Sekolah itu merupakan sekolah kedua setelah pengangkatan ibuku menjadi PNS dua puluh tahunan silam. Di Sekolah Dasar itulah ibuku berjuang, membawa murid-muridnya lari jauh dari jurang kebodohan.
 
Sekolah itu sungguh memprihatinkan. Dulu, sebelum kendaraan menjamur seperti sekarang, sekolah itu sangat sulit untuk dijangkau. Para murid dan guru harus berjalan kaki, melewati bebatuan yang terjal, hingga bermandikan peluh dan keringat. Tanpa semangat yang tinggi, ilmu dari sang pahlawan tidak bisa mengalir kepada para murid. Begitu pula dengan ibuku. Semangat untuk mengajar selalu membara.
Seiring berkembangnya jaman, kendaraan sudah mulai merambah ke pedesaan. Ibuku sekarang sudah mempunyai motor sendiri. Dan beruntungnya, jalan menuju tempatnya bekerja pun sudah diperbaiki. Walaupun, kalau musim penghujan tiba, jalan itu sungguh menyeramkan. Licin dan becek seperti lumpur di persawahan. Jika tidak berhati-hati, maka bisa-bisa maut yang menghampiri. Namun, apapun musimnya, ibuku tetap setia.
 
Pernah suatu ketika, seorang guru lain menawari ibuku untuk mutasi, pindah ke sekolah dasar yang lebih dekat. Ibuku tak perlu lagi khawatir kala musim penghujan tiba. Ibuku tak perlu kelelahan mengajar di atas sana. Namun, entah mengapa ibuku menolaknya. Hatinya terbambat di sekolah terpencil itu. Bertahun-tahun ibuku mengajar disana, mendapati muridnya yang bersekolah tanpa sepatu, muridnya dengan seragam kumalnya, dan muridnya yang begitu bandel. Ibuku tak tega meninggalkan itu semua. Belum lagi perasaan tidak tenang, apakah guru baru di sekolah itu akan benar-benar mengajar atau tidak.
 
Ibuku lulusan SGO (Sekolah Guru Olahraga), setara dengan SMA. Maka, bukan hal yang aneh jika ibuku diangkat sebagai guru olahraga. Ya, ibuku seorang guru olahraga. Akan tetapi, cerita ibuku membuatku begitu mengaguminya. Ibuku tak hanya seorang guru olahraga. Beliau guru yang hebat. Beliau mengisi kelas yang kosong. Sekolah Dasar tempat ibuku mengajar hanya mempunyai lima guru tetap. Usianya pun sudah berbilang tua. Guru-guru disana berumur lima puluh tahunan ke atas. Mereka lah yang dari awal berada di sekolah itu. Tak ada guru baru? Ada, guru bantu atau honorer. Tapi, itu tak bertahan lama. Tak ada setahun mereka pindah, mencari tempat yang lebih baik. Kebanyakan mereka tidak betah. Sulit dijangkau, jauh dari keramaian. Guru negeri yang lain? Entahlah. Mereka sama saja, menginginkan mutasi sesegera mungkin. Bahkan berharap tidak ditugaskan di sekolah itu.
 
Dari cerita ibuku, aku banyak berpikir, mengapa sekarang ini susah sekali mencari guru-guru yang tulus dari dalam hatinya untuk mengajar? Mengabdikan diri untuk kecerdasan bangsa. Saat ini, guru hanya sekedar profesi. Hanya segelintir orang yang mau mengajar. Mengapa mereka tak bisa seperti ibuku? Tak bisa seperti guru-guru sekolah terpencil itu? Guru-guru yang bahkan rela mengajar tanpa mendapat upah. Guru-guru yang kebahagiannya berasal dari kecerdasan muridnya, bukan dari gaji yang didapatkan.
 
Bapak Ibu guru, kalian begitu berjasa dalam pembangunan Negara ini. Pendidikan adalah nomor satu. Tanpa pendidikan, Negara ini akan hancur. Kalian adalah bagian dari penentu masa depan bangsa ini. Kalian pendidik generasi penerus bangsa ini. Melalui kalian lah ilmu-ilmu itu mengalir, membangun negeri ini menjadi lebih baik.
Hari Pahlawan. Bukan hanya hari bagi sang pelawan penjajah.
Namun juga hari bagi sang pelawan kebodohan.
Selamat Hari Pahlawan. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Guruku Pahlawanku. ^^

1 comment:

  1. bagus tulisannya, barokah Allah tuk pengabdian Ibumu, moga para guru-guru muda bisa mencontoh tauladan beliau.

    ReplyDelete

Terima kasih telah mengunjungi Wamubutabi :)
Silahkan tinggalkan jejak ^^

Powered by Blogger.